Rabu, 13 Maret 2013

Tentang Wudhu

Syarat, Fardhu dan Sunnah-Sunnah Wudhu

Ketahuilah wahai muslim, bahwa wudhu mempunyai syarat-syarat, fardhu-fardhu dan sunnah-sunnah.

Syarat-syarat dan fardhu-fardhu harus dikerjakan menurut kemampuan; agar wudhunya sah. Adapun sunnah-sunnah;maka merupakan penyempurna wudhu. Didalamnya terdapat tambahan pahala . Dan meninggalkannya tidak menghalangi sahnya wudhu.

Hukum-Hukum Wudhu

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ  Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman , apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. ” (Q. S Al-Maidah:6)
Ayat yang mulia ini mewajibkan wudhu untuk shalat, menjelaskan anggota yang wajib dibasuh dan diusap didalam berwudhu, dan memberi pembatasan tempat-tempat anggota wudhu. Kemudian Nabi Shalallahu ‘alahi wa sallam menjelaskan cara dan sifat berwuhu melalui ucapan dan perbuatan beliau dengan penjelasan yang cukup. Ketahuilah wahai muslim, bahwa wudhu mempunyai syarat-syarat, fardhu-fardhu dan sunnah-sunnah.
Syarat-syarat dan fardhu-fardhu harus dikerjakan menurut kemampuan; agar wudhunya sah. Adapun sunnah-sunnah;maka merupakan penyempurna wudhu. Didalamnya terdapat tambahan pahala . Dan meninggalkannya tidak menghalangi sahnya wudhu.

Syarat-syarat wudhu
 *** Syarat-syarat wudhu ada delapan :
(1 – 4) Islam, berakal, tamyiz dan niat; maka wudhu tidak sah apabila dilakukan oleh orang kafir, orang gila, anak kecil yang belum mumayyiz dan oleh orang yang tidak berniat untuk berwudhu; seperti berwudhu untuk mendinginkan anggota badan atau membasuh anggota wudhu untuk menghilangkan najis atau kotoran.
(5) Wudhu disyaratkan juga menggunakan air yang suci sebagaimana yang telah lewat. Apabila air tersebut najis, maka tidak memenuhi syarat.
(6) Wudhu disyaratkan juga menggunakan air yang mubah (boleh untuk dipergunakan). Apabila air tersebut adalah hasil rampasan atau memperolehnya dengan cara yang tidak syar’I, maka tidak sah wudhunya menggunakan air tersebut.
(7) Demikian juga wudhu disyaratkan untuk didahului dengan istinja’ dan istijmar sebagaimana yang telah lewat perinciannya.
(8) Wudhu disyaratkan juga untuk menghilangkan hal-hal yang menghalangi sampainya air kekulit. Maka orang yang berwudhu harus menghilangkan apa yang ada pada anggota wudhu, seperti: tanah, pasta, lilin, kotoran yang menumpuk atau cat yang tebal; agar air bisa mengalir mengenai kulit anggota wudhu secara langsung tanpa adanya penghalang.

Fardhu-fardhunya wudhu
*** Adapun fardhu-fardhunya wudhu yaitu anggota-anggotanya ada enam :
Pertama : Membasuh wajah dengan sempurna, termasuk diantaranya adalah berkumur dan istinsyaq (menghirup air kehidung). Barangsiapa membasuh wajahnya tanpa berkumur atau beristinsyaq atau salahsatunya, maka wudhunya tidak sah.
Karena mulut dan hidung termasuk bagian dari wajah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ Artinya : “Maka basuhlah mukamu. ” (Al-Maidah-6) Allah memerintahkan untuk membasuh seluruh wajah. Maka barang siapa meninggalkan sedikit saja dari wajah, berarti dia tidak menunaikan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan Nabi Shalallahu ‘alahi wa sallam juga berkumur dan berintisyaq. Kedua : Membasuh kedua tangan hingga dua siku-siku; berdasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ Artinya : “ Dan tanganmu sampai dengan siku. ” (Al-Maidah – 6) Artinya : Beserta siku-siku. Dikarenakan Nabi Shalallahu ‘alahi wa sallam membasuhkan air dengan memutar pada kedua siku-siku beliau (Dikeluarkan dari hadits Jabir oleh : Daruquthni (268)[1/86]; dan Al-Baihaqi (256)[1/93]
Dan didalam hadits lainnya:
(Yang) Artinya : “Beliau membasuh kedua tangan hingga lengan beliau. ” (Dikeluarkan dari hadits Nuaim bin Al-Mujammir (578)[21/158])
Hadits ini termasuk yang menunjukkan bahwa kedua siku-siku termasuk didalam anggota yang harus dibasuh. Ketiga : Mengusap seluruh kepala, termasuk dari kepala adalah dua telinga; berdasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ Artinya : “Dan sapulah kepalamu. ” (Al-Maidah-6)
Dan Nabi Shalallahu ‘alahi wa sallam bersabda;
Artinya ; “ Dua telinga termasuk kepala. ”
(Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Ad-Daruqhutni dan lainnya) (Dikeluarkan oleh Abu Dawud (134)[1/72]; Tirmidzi (37)[1/53]; Ibnu Majah (444)[262] dan Ad Daruqutni (353)[1/108]
Maka tidak cukup dengan hanya mengusap sebagian kepala. Keempat : Membasuh Kedua Kaki beserta kedua mata kaki berdasar firman Allah Subhanahu wa Ta’ala;

وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ Artinya : “ Dan (basuh) kakimu sampai kedua mata kaki. ” (Al-Maidah-6) Kata إِلَى sampai dengan “bermakna: beserta” hal itu berdasar hadits –hadits yang menerangkan tentang sifat wudhu. Hadits-hadits tersebut menjelaskan tentang masuknya dua mata kaki pada anggota yang dibasuh. Kelima : Tertib, yaitu pertama-tama membasuh muka, kemudian kedua tangan, kemudian mengusap kepala, kemudian membasuh kaki.
Berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman , apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki. ”(Q. S Al-Maidah:6)
Dan Nabi Shalallahu ‘alahi wa sallam mengurutkan wudhu beliau sebagaimana cara ini dan beliau bersabda :
(Yang) Artinya : “ Ini adalah wudhu yang Allah tidak akan menerima shalat kecuali dengannya. ” (Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dan lainnya) (Dikeluarkan oleh Ibnu Majah dari hadits Ibnu Umar (419)[1/250];Abu Ya’la didalam Al Musnad nomor (5598); dan Ad Daruqutni (257)[1/83] Keenam : Terus menerus ; yaitu membasuh anggota-anggota tersebut secara terus-menerus artinya tidak ada yang memisahkan antara membasuh satu anggota dengan satu anggota sebelumnya. Bahkan berkesinambungan dalam membasuh anggota-anggota dari pertama dan seterusnya menurut kemampuan.
Inilah fardhu-fardhunya wudhu yang harus dikerjakan sesuai dengan apa yang disebutkan oleh Allah di dalam kitab-Nya.
Para ulama telah berselisih tentang hukum mengucapkan basmalah di awal wudhu. Apakah wajib atau sunnah?
Basmalah menurut semua ulama adalah disyariatkan; tidak sepantasnya untuk ditinggalkan. Caranya adalah mengucapkan. بِسْمِ اللَّهِ
dan apabila rnenambah dengan ucapan:

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
maka tidak apa-apa.
Hikmahnya -Wallahu a’lam- di dalam mendahulukan keempat anggota ini di dalam berwudhu adalah karena keempatnya merupakan¬
anggota badan yang paling cepat di dalam berbuat dosa. Maka didalam membersihkan bagian luarnya terdapat peringatan untuk membersihkan bagian dalamnya.
Dan Nabi Shalallahu ‘alahi wa sallam telah memberitakan bahwa seorang muslim apabila membasuh salah satu anggota dari anggota-anggota tersebut, akan dihapus setiap kesalahan yang menimpanya karena perbuatan anggota
tersebut. Dan akan keluar kesalahan-kesalahan tersebut bersama air atau bersama tetes air yang terakhir. Kemudian beliau Shalallahu ‘alahi wa sallam memberikan himbingan setelah membasuh anggota-anggota ini untuk memperbaharui iman dengan mengucap¬kan dua kalimat syahadat sebagai isyarat untuk menggabungkan diantara dua thaharah; yaitu hissiyyah (lahir) dan ma’nawiyyah (batin). Thaharah hissiyyah adalah dengan menggunakan air sebagai mana cara yang telah dijelaskan oleh Allah di dalam kitab-Nva tentang membasuh anggota-anggota ini.
Dan thaharah ma’nawiyyah adalah dengan mengucapkan dua kalimat syahadat yang membersihkan dari kesyirikan.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman di akhir ayat wudhu,

مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ Artinya : “ Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan ni’mat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur (Al-maidah-6)
Demikian inilah wahai Muslim, Allah mensyari’atkan wudhu kepada anda; untuk membersihkan kesalahan dan menyempurnakan ni’mat-Nya atas diri Anda.
Renungkanlah pembuka ayat wudhu dengan menggunakan seruan yang mulia ini,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman. ” Allah mengarahkan pembicaraan kepada orang yang disifati dengan keimanan; karena dialah yang mau mendengarkan perintah¬-perintah Allah dan mengambil manfaat dari padanya. Karena inilah Nabi Shalallahu ‘alahi wa sallam bersabda : Artinya : “Dan tidaklah menjaga wudhu kecuali orang yang beriman. (Dikeluarkan dari hadits Tsauban oleh: Ahmad (22429) [5/355]; Ibnu Majah (278) [1/178] dan dikeluarkan pula oleh imam yang lainnya dari shahabat lain. ) Adapun selebihnya dari apa yang telah disebutkan tentang sifat wudhu adalah mustahabb; barangsiapa mengerjakannya akan tambahan pahala dan barangsiapa meninggalkan¬nya, maka tidak berdosa. Karena itulah para fuqaha menamakan amalan-amalan tersebut dengan sunnah-sunnahnya wudhu atau hal-hal yang dianjurkan untuk dikerjakan ketika berwudhu.

Sunnah-sunnahnya wudhu adalah:
Pertama : Bersiwak, dan telah lewat penjelasan tentang keutamaan dan cara bersiwak. Tempatnya adalah ketika berkumur; supaya diperoleh dengan bersiwak dan berkumur-kumur tersebut bersihnya mulut untuk menghadapi ibadah dan mempersiapkan diri untuk membaca Al-Qur’an dan berdo’a kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. 
Kedua : Membasuh kedua telapak tangan di awal wudhu tiga kali sebelum membasuh wajah; karena adanya. hadits-hadits tentang masalah tersebut. Dan juga karena telapak tangan adalah alat untuk memindahkan air ke anggota-anggota wudhu, maka di dalam membasuh keduanya terdapat kehati-hatian untuk seluruh wudhu. 
Ketiga: Memulai dengan berkumur dan beristinsyaq sebelum membasuh wajah; karena adanya hadits-hadits untuk memulai dengan keduanya. Dan supaya bersungguh-sungguh di dalamnva apabila tidak sedang berpuasa.
Makna bersungguh-sungguh di dalam berkumur-kumur adalah: mengelilingkan air pada seluruh mulutnya. Dan makna bersungguh-sungguh di dalam beristinsyaq adalah: menghirup air hingga pangkal hidung. 
Keempat : Di antara sunnah-sunnahnya wudhu adalah menyela-nyelai janggut (jenggot) yang tebal dengan air sehingga
sampai ke bagian dalam dan menyela-nyelai jari-jemari kedua kaki dan kedua tangan. 
Kelima: Mendahulukan anggota yang kanan, yaitu memulai bagian kanan dari kedua tangan dan kaki sebelum bagian kiri. Keenam: Menambah dari satu basuhan menjadi tiga basuhan ketika membasuh wajah, dua tangan dan dua kaki. Inilah syarat-syarat, fardhu-fardhu dan sunnah-sunnahnya Wudhu. Merupakan suatu keharusan bagi Anda untuk mempelajarinya dan bersungguh-sungguh untuk menerapkannya pada setiap wudhu. Agar wudhu Anda menjadi sempurna sesuai cara yang disyari’atkan supaya mendapatkan pahala. Kita memohon kepada Allah untuk kami dan Anda tambahan ilmu yang bermanfaat dan amalan shalih.
sumber: 
www. darussalaf. or. id, penulis: Asy-Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdillah Aalu Fauzan

Maulid Nabi Muhammad SAW

Mengisi Pengajian Maulid Nabi

Fatwa Lajnah Daimah,

س هل يجوز حضور الاحتفالات البدعية، كالاحتفال بليلة المولد النبوي، وليلة المعراج، وليلة النصف من شعبان، لمن يعتقد عدم مشروعيتها لبيان الحق في ذلك؟ Pertanyaan, “Apakah diperbolehkan menghadiri berbagai perayaan bid’ah semisal perayaan malam maulid Nabi, isra mikraj, malam nishfu Sya’ban bagi orang yang berkeyakinan bahwa perayaan-perayaan tersebut tidak ada tuntunannya namun dia hadir dalam rangka menjelaskan kebenaran terkait perayaan tersebut?”

ج أولا الاحتفال بهذه الليالي لا يجوز، بل هو من البدع المنكرة
Jawaban Lajnah Daimah, “(Ada dua poin yang perlu dicermati):
Pertama, mengadakan perayaan malam-malam tersebut adalah suatu hal yang tidak diperbolehkan bahkan termasuk bid’ah yang munkar.
ثانيا غشيان هذه الاحتفالات وحضورها لإنكارها وبيان الحق فيها، وأنها بدعة لا يجوز فعلها – مشروع، ولا سيما في حق من يقوى على البيان ويغلب على ظنه سلامته من الفتن
Kedua, (hukum menghadiri perayaan-perayaan tersebut perlu dibagi dua):
Pertama, mendatangi dan menghadiri acara-acara tersebut untuk menginkarinya, menjelaskan kebenaran terkait dengan acara tersebut dan menjelaskan bahwa acara tersebut adalah amalan yang mengada-ada (baca:bid’ah) yang tidak boleh dilakukan adalah perbuatan yang dituntunkan terutama untuk orang yang mampu memberikan penjelasan dengan baik dan dia berprasangka kuat bahwa dirinya terbebas dari marabahaya karena memberikan penjelasan tentang hal ini.
أما حضورها للفرجة والتسلية والاستطلاع فلا يجوز؛ لما فيه من مشاركة أهلها في منكرهم وتكثير سوادهم وترويج بدعتهم
Kedua, menghadiri acara-acara di atas dengan tujuan sekedar nonton, cari hiburan, pengena tahu karena penasaran maka hukumnya adalah tidak boleh karena dengan hadir berarti:
turut berperan serta dalam kemungkaran yang dilakukan oleh pihak menyelenggara
memperbanyak jumlah pelaku kemungkaran
menjadi sebab semakin larisnya bidah tersebut”.
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد، وآله وصحبه وسلم
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو … عضو … نائب رئيس اللجنة … الرئيس
عبد الله بن قعود … عبد الله بن غديان … عبد الرزاق عفيفي … عبد العزيز بن عبد الله بن باز

Fatwa di atas ditandatangani oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz selaku ketua Lajnah Daimah, Abdurrazzaq Afifi selaku wakil ketua dan Abdullah bin Ghadayan serta Abdullah bin Qaud selaku anggota [Fatawa Lajnah Daimah jilid 3 hal 37-38, terbitan Dar Balansiah Riyadh, cet ketiga, 1421 H].

Catatan:

Fatwa di atas menunjukkan bahwa hukum mengadakan acara maulid Nabi itu berbeda dengan hukum menghadirinya. Mengadakan acara maulid Nabi itu terlarang secara mutlak, tanpa terkecuali. Sedangkan hukum menghadiri acara semacam ini perlu rincian.

Menghadiri acara maulid Nabi itu terbagi menjadi dua kategori.

Pertama, hadir untuk mengisi hukumnya boleh bersyarat. Jika pengisi alias penceramah tersebut adalah dai ahli sunnah yang bisa menjelaskan dengan bahasa yang baik dan penjelasan yang memuaskan dengan mengedepankan argumen berupa dalil ataupun logika bukan sekedar vonis bahwa acara maulid adalah acara yang tidak pernah Nabi ajarkan maka hukumnya adalah perbuatan yang disyariatkan. 
Kedua, hadir sekedar hadir, menjadi pendengar bukan pengisi maka hukumnya adalah terlarang tanpa terkecuali.
Membaca fatwa di atas menyebabkan saya teringat dengan sebuah dialog ringan yang terjadi antara saya dengan seorang dai. Dialog terjadi ketika saat itu beliau mendapatkan sms dari panitia suatu masjid yang mengundang beliau untuk mengisi acara maulid Nabi lalu sms tersebut beliau balas dengan sms panjang berisi permintaan maaf kalo beliau tidak bisa memberi respons positif atas undangan tersebut dan penjelasan bahwa acara semacam itu tidak pernah Nabi ajarkan. Dari situ, saya menyeletuk santai sambil guyon bahwa andai beliau bersedia menerima undangan tersebut hukumnya tidak mengapa asalkan beliau ketika memberi pengajian Maulid bisa memberi sisipan yang berisi penjelasan bahwa acara pengajian maulid Nabi adalah suatu acara yang tidak pernah Nabi ajarkan sehingga seorang muslim yang baik tentu akan meninggalkannya karena itu adalah bagian dari mengubah kemungkaran dengan lisan yang tentu saja disyariatkan.

Namun dengan bahasa yang halus namun tegas beliau menolak keras lontaran saya. Intinya, beliau sampaikan bahwa jika suatu acara adalah acara bid’ah maka hukum pengisi dan hadirin itu sama saja yaitu tidak boleh apapun alasannya. Diskusi tidak berlanjut sebagai bentuk penghormatan saya kepada orang yang lebih tua.

Setelah membaca fatwa ulama ahli sunnah di atas, kita bisa melihat pendapat yang lebih mendekati kebenaran dari dua pendapat yang ada dalam diskusi ringan di atas.








artikel : ustadzaris